KEMENTERIAN AGAMA DALAM LINTAS SEJARAH
A. Pendahuluan
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang
religius. Hal tersebut terlihat dengan baik dalam
kehidupan bermasyarakat maupun dalam kehidupan bernegara. Di lingkungan
masyarakat dapat dilihat dengan terus
meningkatnya semarak kegiatan keagamaan baik
dalam bentuk ritual, maupun dalam bentuk sosial keagamaan.
Semangat keagamaan tersebut, tercermin pula
dalam kehidupan bernegara yang dapat dijumpai dalam dokumen- dokumen kenegaraan tentang falsafah negara
Pancasila, UUD 1945, GBHN, dan
memberi jiwa dan warna dalam pidato- pidato
kenegaraan.
Dalam
pelaksanaan pembangunan nasional semangat keagamaan tersebut menjadi lebih kuat
dengan ditetapkannya asas keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan yang
Maha Esa sebagai salah satu asas pembangunan. Hal ini berarti bahwa segala
usaha dan kegiatan pembangunan nasional dijiwai, digerakkan dan dikendalikan
oleh keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sebagai nilai luhur
yang menjadi landasan spiritual, moral dan etik pembangunan.
B. Sejarah Kementerian Agama
1. Era Kerajaan- kerajaan
Dalam struktur
pemerintahan zaman raja- raja
dan kesultanan di Indonesia, urusan agama menjadi bagian yang tak terpisahkan
dari peran raja/sultan dan pejabat pemerintah lainnya. Sementara di tingkat kabupaten sampai tingkat desa terdapat jabatan
mufti, qodhi, penghulu, modin (lebai,kayim) dan jabatan agama lainnya. Jelaslah
bahwa instansi agama sejak pemerintahan para raja/sultan telah berakar dalam
budaya bangsa Indonesia.
Secara historis benang merah
nafas keagamaan tersebut dapat ditelusuri sejak abad V Masehi, dengan
berdirinya kerajaan Kutai yang bercorak Hindu di Kalimantan dan melekat pada
kerajaan- kerajaan di pulau Jawa, antara lain kerajaan Tarumanegara di Jawa
Barat, dan kerajaan Purnawarman di Jawa Tengah.
Pada abad VIII corak
agama Budha menjadi salah satu ciri kerajaan Sriwijaya yang pengaruhnya cukup
luas sampai ke Sri Lanka, Thailand dan India. Pada masa Kerajaan Sriwijaya,
candi Borobudur dibangun sebagai lambang kejayaan agama Budha. Pemerintah
kerajaan Sriwijaya juga membangun sekolah tinggi agama Budha di Palembang yang
menjadi pusat studi agama Budha se-Asia Tenggara pada masa itu. Bahkan beberapa
siswa dari Tiongkok yang ingin memperdalam agama Budha lebih dahulu beberapa
tahun membekali pengetahuan awal di Palembang sebelum melanjutkannya ke India.
Menurut salah satu sumber Islam mulai memasuki Indonesia sejak abad VII melalui para pedagang Arab yang telah lama berhubungan
dagang dengan kepulauan Indonesia tidak lama setelah Islam berkembang di
jazirah Arab. Agama Islam tersiar secara hampir merata di seluruh kepulauan
nusantara seiring dengan berdirinya kerajaan-kerajaan Islam seperti Perlak dan
Samudera Pasai di Aceh, kerajaan Demak, Pajang dan Mataram di Jawa Tengah,
kerajaan Cirebon dan Banten di Jawa Barat, kerajaan Goa di Sulawesi Selatan,
kerajaan Tidore dan Ternate di Maluku, keraj aan Banjar di Kalimantan, dan
lain-lain.
2. Era Penjajahan Belanda
Dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia
menentang penjajahan Belanda banyak raja dan kalangan bangsawan yang bangkit
menentang penjajah. Mereka tercatat sebagai pahlawan bangsa, seperti Sultan
Iskandar Muda, Teuku Cik Di Tiro, Teuku Umar, Cut Nyak Dien, Panglima Polim,
Sultan Agung Mataram, Imam Bonjol, Pangeran Diponegoro, Sultan Agung Tirtayasa,
Sultan Hasanuddin, Sultan Goa, Sultan Ternate, Pangeran Antasari, dan
lain-lain.
Pola pemerintahan kerajaan-kerajaan
tersebut diatas pada umumnya selalu memiliki dan melaksanakan fungsi sebagai
berikut:
1. Fungsi pemerintahan
umum, hal ini tercermin pada gelar "Sampean Dalem Hingkang Sinuhun"
sebagai pelaksana fungsi pemerintahan umum.
2. Fungsi pemimpin
keagamaan tercermin pada gelar "Sayidin Panatagama Kalifatulah."
3. Fungsi keamanan dan
pertahanan, tercermin dalam gelar raja "Senopati Hing Ngalogo." Pada
masa penjajahan Belanda sejak abad XVI sampai pertengahan
abad XX pemerintahan Hindia Belanda juga "mengatur" pelayanan
kehidupan beragama. Tentu saja "pelayanan" keagamaan tersebut tak
terlepas dari kepentingan strategi kolonialisme Belanda. Dr.C. Snuck Hurgronye,
seorang penasehat pemerintah Hindia Belanda dalam bukunya "Nederland en de
Islam" (Brill, Leiden 1911) menyarankan sebagai berikut:
"Sesungguhnya menurut
prinsip yang tepat, campur tangan pemerintah dalam bidang agama adalah salah,
namun jangan dilupakan bahwa dalam sistem (tata negara) Islam terdapat sejumlah
permasalahan yang tidak dapat dipisahkan hubungannya dengan agama yang bagi
suatu pemerintahan yang baik, sama sekali tidak boleh lalai untuk
mengaturnya."
Pokok- pokok kebijaksanaan pemerintah Hindia Belanda di
bidang agama adalah sbb:
1. Bagi golongan Nasrani
dijamin hak hidup dan kedaulatan organisasi agama dan gereja, tetapi harus ada
izin bagi guru agama, pendeta dan petugas misi/zending dalam melakukan
pekerjaan di suatu daerah tertentu.
2. Bagi penduduk pribumi
yang tidak memeluk agama Nasrani, semua urusan agama diserahkan pelaksanaan dan
perigawasannya kepada para raja, bupati dan kepala bumiputera lainnya.
Berdasarkan kebijaksanaan tersebut,
pelaksanaannya secara teknis dikoordinasikan oleh beberapa instansi di pusat
yaitu:
1. Soal peribadatan umum,
terutama bagi golongan Nasrani menjadi wewenang Departement van Onderwijs en
Eeredienst (Departemen Pengajaran dan Ibadah)
2. Soal
pengangkatan pejabat agama penduduk pribumi, soal perkawinan, kemasjidan, haji,
dan lain- lain,
menjadi urusan Departement van Binnenlandsch Bestuur (Departemen Dalam
Negeri).
3.
Soal pergerakan Agama diurus oleh kantor Adviseur
voor In-landsche Mohammadansche Zaken, soal peribadatan diurus oleh
Departemen van Onderwwys en Eeredrenst dan seterusnya.
4. Soal Mahkamah Islam
Tinggi atau Hofd voor Islamietische Zaken menjadi wewenang Departement
van Justitie (Departemen Kehakiman).
5.
3. Era Penjajahan Jepang
Pada masa penjajahan
Jepang kondisi tersebut pada dasarnya tidak berubah. Pemerintah Jepang menghapuskan
Kantoor
voor Islamietische Zaken dan membentuk Shumubu, yaitu kantor agama pusat yang
berfungsi sama dengan Kantoor voor Islamietische Zaken dan mendirikan Shumuka,
kantor agama karesidenan, dengan menempatkan tokoh pergerakan Islam sebagai
pemimpin kantor. Penempatan tokoh pergerakan Islam tersebut merupakan strategi
Jepang untuk menarik simpati umat Islam agar mendukung cita- cita persemakmuran Asia
Raya di bawah pimpinan Dai Nippon.
Berbagai kebijakan terhadap hal- hal yang berkaitan
dengan urusan agama, pada masa penjajahan mempunyai corak dan taktik sendiri- sendiri,
sesuai dengan kepentingan pemerintahan penjajahan yang berkuasa ketika itu
4. Era Kemerdekaan
Dengan diproklamirkannya Kemerdekaan Indonesia pada hari Jum’at tanggal 08 Ramadhan 1364 H/17 Agustus 1945 M, bangsa Indonesia telah
berdaulat
untuk mengatur dan menyelenggarakan pemerintahan secara
mandiri.
Komite Nasional Pusat, yang
merupakan Parlemen sementara Republik Indonesia melangsungkan sidang pleno pada tanggal 19-21
Dzulhijjah 1364 H/25-27 Nopember 1945 M. untuk mendengarkan keterangan pemerintah ketika
itu. Wakil- wakil komite Nasional Daerah Keresidenan
Banyumas yang duduk dalam K.N.I. Pusat, dalam pandangan umum atas keterangan pemerintah
mengusulkan;
“Supaya dalam
Negara Indonesia yang sudah merdeka ini, janganlah hendaknya urusan Agama hanya
disambil lalukan dalam tugas Departemen Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan
atau Departemen- departemen lainnya, tetapi bendaknya diurus oleh suatu Depaiitemea
Agama tersendiri”.
Usul tersebut mendapat sambutan dan
dikuatkan oleh tokoh- tokoh
Islam yang hadir dalam K.N.I.
ketika itu. Maka dinyatakanlah terbentuknya satu Departemen yang mengurusi masalah- masalah keagamaan secara tersendiri.
Pemerintah merealisasikannya dengan dikeluarkannya pengumuman pemerintah pada hari Kamis tanggal 29 Muharram 1365 H/03 Januari 1946 M, tentang berdirinya
Departemen Agama dengan K.H. Rasjidi sebagai Menteri Agama yang pertama.
Berdirinya Departemen Agama,
adalah wujud dari sila pertama Pancasila sebagai falsafah negara, yaitu
Ketuhanan Yang Maha Esa , dan UUD 1945. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa
yang diakui sebagai sumber dari sila-sila lainnya mencerminkan karakter bangsa
Indonesia yang sangat religius dan sekaligus memberi makna rohaniah terhadap
kemajuan- kemajuan yang dicapai.
Ketentuan juridis tentang agama tertuang
dalam UUD 1945 BAB E pasal 29
tentang Agama ayat 1, dan 2:
1. Negara berdasarkan
atas Ketuhanan Yang Maha Esa;
2. Negara
menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing
dan beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Dengan demikian agama
telah menjadi bagian dari sistem kenegaraan sebagai hasil konsensus nasional
dan konvensi dalam_praktek kenegaraan Republik Indonesia yang berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945.
Pada tanggal 23 April 1946, Departemen Agama mengeluarkan
maklumat Nomor 2 yang menetapkan bahwa :
1.
Shumuka yang dalam zaman Jepang termasuk dalam kekuasaan Residen
menjadi Jawatan Agama Daerah, dan selanjutnya ditempatkan dibawah Departemen Agama.
2.
Untuk mengangkat penghulu landraad (Penggadilan Agama), ketua dan
anggota Raad Agama yang sebelumnya adalah hak Presiden selanjutnya diserahkan kepada Departemen Agama.
anggota Raad Agama yang sebelumnya adalah hak Presiden selanjutnya diserahkan kepada Departemen Agama.
3.
Untuk mengangkat penghulu mesjid, yang sebelumnya adalah hak Bupati, selanjutnya diserahkan
kepada Departemen Agama.
Dalam pengumuman Departemen Agama Nomor 3 hal- hal yang tersebut dalam maklumat Nomor. 2 diatas dikuatkan dengan pengumuman persetujuan Dewan Kabinet
dalam sidangnya pada tanggal 29 Maret 1946.
Pada tanggal 20
Nopember 1946, Menteri
Agama mengeluarkan Keputusan Nomor 1185/KJ tentang susunan Departemen Agama dan
tugas- tugasnya.yang meliputi 8 bagian yaitu: Bagian Sekretariat, Bagian Kepenghuluan, Bagian Pendidikan Agama, Bagian Penerangan
Agama, Bagian Kristen, Bagian Katolik, Bagian
Pegawai, dan Bagian Keuangan. Dan setelah itu Departemen Agama kembali mengalami
beberapa kali perubahan struktur organisasi, sehingga saat ini telah berubah
nama menjadi Kementerian Agama.
Saat ini Kementerian
Agama Republik Indonesia berkantor Pusat di Jalan Thamrin yang gedungnya mulai
dibangun sejak bulan Desember 1958 dan
diresmikan pada tanggal 1 Mei 1963.
Sumber:
3.
http://id.wikipedia.org.
4.
R. B. Cribb, The Late Colonial State in Indonesia:
Political and Economic Foundations of the Netherlands Indies, 1880-1942
5.
Japan. Rikugun. Gun, Dai 16. Gunsei Kanbu Ryukei
Shōsha 1942, University of Michigan
6.
Dan berbagai sumber lainnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar