Sabtu, 11 Mei 2013

SEJARAH




KEMENTERIAN AGAMA DALAM LINTAS SEJARAH

A. Pendahuluan
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang religius. Hal tersebut terlihat dengan baik dalam kehidupan bermasyarakat maupun dalam kehidupan bernegara. Di lingkungan masyarakat dapat dilihat dengan terus meningkatnya semarak kegiatan keagamaan baik dalam bentuk ritual, maupun dalam bentuk sosial keagamaan.
Semangat keagamaan tersebut, tercermin pula dalam kehidupan bernegara yang dapat dijumpai dalam dokumen- dokumen kenegaraan tentang falsafah negara Pancasila, UUD 1945, GBHN, dan memberi jiwa dan warna dalam pidato- pidato kenegaraan.
Dalam pelaksanaan pembangunan nasional semangat keagamaan tersebut menjadi lebih kuat dengan ditetapkannya asas keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan yang Maha Esa sebagai salah satu asas pembangunan. Hal ini berarti bahwa segala usaha dan kegiatan pembangunan nasional dijiwai, digerakkan dan dikendalikan oleh keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sebagai nilai luhur yang menjadi landasan spiritual, moral dan etik pembangunan.

B. Sejarah Kementerian Agama
1.  Era Kerajaan- kerajaan
Dalam struktur pemerintahan zaman raja- raja dan kesultanan di Indonesia, urusan agama menjadi bagian yang tak terpisahkan dari peran raja/sultan dan pejabat pemerintah lainnya. Sementara di tingkat kabupaten sampai tingkat desa terdapat jabatan mufti, qodhi, penghulu, modin (lebai,kayim) dan jabatan agama lainnya. Jelaslah bahwa instansi agama sejak pemerintahan para raja/sultan telah berakar dalam budaya bangsa Indonesia.
Secara historis benang merah nafas keagamaan tersebut dapat ditelusuri sejak abad V Masehi, dengan berdirinya kerajaan Kutai yang bercorak Hindu di Kalimantan dan melekat pada kerajaan- kerajaan di pulau Jawa, antara lain kerajaan Tarumanegara di Jawa Barat, dan kerajaan Purnawarman di Jawa Tengah.
Pada abad VIII corak agama Budha menjadi salah satu ciri kerajaan Sriwijaya yang pengaruhnya cukup luas sampai ke Sri Lanka, Thailand dan India. Pada masa Kerajaan Sriwijaya, candi Borobudur dibangun sebagai lambang kejayaan agama Budha. Pemerintah kerajaan Sriwijaya juga membangun sekolah tinggi agama Budha di Palembang yang menjadi pusat studi agama Budha se-Asia Tenggara pada masa itu. Bahkan beberapa siswa dari Tiongkok yang ingin memperdalam agama Budha lebih dahulu beberapa tahun membekali pengetahuan awal di Palembang sebelum melanjutkannya ke India.
 Menurut salah satu sumber Islam mulai memasuki Indonesia sejak abad VII melalui para pedagang Arab yang telah lama berhubungan dagang dengan kepulauan Indonesia tidak lama setelah Islam berkembang di jazirah Arab. Agama Islam tersiar secara hampir merata di seluruh kepulauan nusantara seiring dengan berdirinya kerajaan-kerajaan Islam seperti Perlak dan Samudera Pasai di Aceh, kerajaan Demak, Pajang dan Mataram di Jawa Tengah, kerajaan Cirebon dan Banten di Jawa Barat, kerajaan Goa di Sulawesi Selatan, kerajaan Tidore dan Ternate di Maluku, keraj aan Banjar di Kalimantan, dan lain-lain.

2.  Era Penjajahan Belanda
Dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia menentang penjajahan Belanda banyak raja dan kalangan bangsawan yang bangkit menentang penjajah. Mereka tercatat sebagai pahlawan bangsa, seperti Sultan Iskandar Muda, Teuku Cik Di Tiro, Teuku Umar, Cut Nyak Dien, Panglima Polim, Sultan Agung Mataram, Imam Bonjol, Pangeran Diponegoro, Sultan Agung Tirtayasa, Sultan Hasanuddin, Sultan Goa, Sultan Ternate, Pangeran Antasari, dan lain-lain.
Pola pemerintahan kerajaan-kerajaan tersebut diatas pada umumnya selalu memiliki dan melaksanakan fungsi sebagai berikut:
1.    Fungsi pemerintahan umum, hal ini tercermin pada gelar "Sampean Dalem Hingkang Sinuhun" sebagai pelaksana fungsi pemerintahan umum.
2.    Fungsi pemimpin keagamaan tercermin pada gelar "Sayidin Panatagama Kalifatulah."
3.    Fungsi keamanan dan pertahanan, tercermin dalam gelar raja "Senopati Hing Ngalogo." Pada masa penjajahan Belanda sejak abad XVI sampai pertengahan abad XX pemerintahan Hindia Belanda juga "mengatur" pelayanan kehidupan beragama. Tentu saja "pelayanan" keagamaan tersebut tak terlepas dari kepentingan strategi kolonialisme Belanda. Dr.C. Snuck Hurgronye, seorang penasehat pemerintah Hindia Belanda dalam bukunya "Nederland en de Islam" (Brill, Leiden 1911) menyarankan sebagai berikut:
"Sesungguhnya menurut prinsip yang tepat, campur tangan pemerintah dalam bidang agama adalah salah, namun jangan dilupakan bahwa dalam sistem (tata negara) Islam terdapat sejumlah permasalahan yang tidak dapat dipisahkan hubungannya dengan agama yang bagi suatu pemerintahan yang baik, sama sekali tidak boleh lalai untuk mengaturnya."
Pokok- pokok kebijaksanaan pemerintah Hindia Belanda di bidang agama adalah sbb:
1.    Bagi golongan Nasrani dijamin hak hidup dan kedaulatan organisasi agama dan gereja, tetapi harus ada izin bagi guru agama, pendeta dan petugas misi/zending dalam melakukan pekerjaan di suatu daerah tertentu.
2.    Bagi penduduk pribumi yang tidak memeluk agama Nasrani, semua urusan agama diserahkan pelaksanaan dan perigawasannya kepada para raja, bupati dan kepala bumiputera lainnya.
Berdasarkan kebijaksanaan tersebut, pelaksanaannya secara teknis dikoordinasikan oleh beberapa instansi di pusat yaitu:
1.    Soal peribadatan umum, terutama bagi golongan Nasrani menjadi wewenang Departement van Onderwijs en Eeredienst (Departemen Pengajaran dan Ibadah)
2.    Soal pengangkatan pejabat agama penduduk pribumi, soal perkawinan, kemasjidan, haji, dan lain- lain, menjadi urusan Departement van Binnenlandsch Bestuur (Departemen Dalam Negeri).
3.      Soal pergerakan Agama diurus oleh kantor Adviseur voor In-landsche Mohammadansche Zaken, soal peribadatan diurus oleh Departemen van Onderwwys en Eeredrenst dan seterusnya.
4.    Soal Mahkamah Islam Tinggi atau Hofd voor Islamietische Zaken menjadi wewenang Departement van Justitie (Departemen Kehakiman).
5.     
3.  Era Penjajahan Jepang
Pada masa penjajahan Jepang kondisi tersebut pada dasarnya tidak berubah. Pemerintah Jepang menghapuskan Kantoor voor Islamietische Zaken dan membentuk Shumubu, yaitu kantor agama pusat yang berfungsi sama dengan Kantoor voor Islamietische Zaken dan mendirikan Shumuka, kantor agama karesidenan, dengan menempatkan tokoh pergerakan Islam sebagai pemimpin kantor. Penempatan tokoh pergerakan Islam tersebut merupakan strategi Jepang untuk menarik simpati umat Islam agar mendukung cita- cita persemakmuran Asia Raya di bawah pimpinan Dai Nippon.
Berbagai kebijakan terhadap hal- hal yang berkaitan dengan urusan agama, pada masa penjajahan mempunyai corak dan taktik sendiri- sendiri, sesuai dengan kepentingan pe­merintahan penjajahan yang berkuasa ketika itu

4. Era Kemerdekaan
Dengan diproklamirkannya Kemerdekaan Indonesia pada hari Jum’at tanggal 08 Ramadhan 1364 H/17 Agustus 1945 M, bangsa Indonesia telah berdaulat untuk mengatur dan menyelenggarakan pemerintahan secara mandiri.
Komite Nasional Pusat, yang merupakan Parlemen sementara Republik Indonesia melangsungkan sidang pleno pada tanggal 19-21 Dzulhijjah 1364 H/25-27 Nopember 1945 M. untuk mendengarkan keterangan pemerintah ketika itu. Wakil- wakil komite Nasional Daerah Keresidenan Banyumas yang duduk dalam K.N.I. Pusat, dalam pandangan umum atas keterangan pemerintah mengusulkan;
“Supaya dalam Negara Indonesia yang sudah merdeka ini, janganlah hendaknya urusan Agama hanya disambil lalukan dalam tugas Departemen Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan atau De­partemen- departemen lainnya, tetapi bendaknya diurus oleh suatu Depaiitemea Agama tersendiri”.
Usul tersebut mendapat sambutan dan dikuatkan oleh tokoh- tokoh Islam yang hadir dalam K.N.I. ketika itu. Maka dinyatakanlah terbentuknya satu Departemen yang mengurusi masalah- masalah keagamaan secara tersendiri.
Pemerintah merealisasikannya dengan dikeluarkannya pengumuman pemerintah pada hari Kamis tanggal 29 Muharram 1365 H/03 Januari 1946 M, tentang berdirinya Departemen Agama dengan K.H. Rasjidi sebagai Menteri Agama yang pertama.
Berdirinya Departemen Agama, adalah wujud dari sila pertama Pancasila sebagai falsafah negara, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa , dan UUD 1945. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa yang diakui sebagai sumber dari sila-sila lainnya mencerminkan karakter bangsa Indonesia yang sangat religius dan sekaligus memberi makna rohaniah terhadap kemajuan- kemajuan yang dicapai.
Ketentuan juridis tentang agama tertuang dalam UUD 1945 BAB E pasal 29 tentang Agama ayat 1, dan 2:
1.    Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa;
2.    Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Dengan demikian agama telah menjadi bagian dari sistem kenegaraan sebagai hasil konsensus nasional dan konvensi dalam_praktek kenegaraan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Pada tanggal 23 April 1946, Departemen Agama mengeluarkan maklumat Nomor 2 yang menetapkan bahwa :
1.      Shumuka yang dalam zaman Jepang termasuk dalam kekuasaan Residen menjadi Jawatan Agama Daerah, dan selanjutnya ditempatkan dibawah Departemen Agama.
2.      Untuk mengangkat penghulu landraad (Penggadilan Agama), ketua dan
anggota Raad Agama yang
sebelumnya adalah hak Presiden selanjutnya diserahkan kepada Departemen Agama.
3.      Untuk mengangkat penghulu mesjid, yang sebelumnya adalah hak Bupati, selanjutnya diserahkan kepada Departemen Agama.
Dalam pengumuman Departemen Agama Nomor 3 hal- hal yang tersebut dalam maklumat Nomor. 2 diatas dikuatkan dengan pengumuman persetujuan Dewan Kabinet dalam sidangnya pada tanggal 29 Maret 1946.
Pada tanggal 20 Nopember 1946, Menteri Agama mengeluarkan Keputusan Nomor 1185/KJ tentang susunan Departemen Agama dan tugas- tugasnya.yang meliputi 8 bagian yaitu: Bagian Sekretariat, Bagian Kepenghuluan, Bagian Pendidikan Agama, Bagian Penerangan Agama, Bagian Kristen, Bagian Katolik, Bagian Pegawai, dan Bagian Keuangan. Dan setelah itu Departemen Agama kembali mengalami beberapa kali perubahan struktur organisasi, sehingga saat ini telah berubah nama menjadi Kementerian Agama.
Saat ini Kementerian Agama Republik Indonesia berkantor Pusat di Jalan Thamrin yang gedungnya mulai dibangun  sejak bulan Desember 1958 dan diresmikan pada tanggal 1 Mei 1963.

Sumber:
3.    http://id.wikipedia.org.
4.    R. B. Cribb, The Late Colonial State in Indonesia: Political and Economic Foundations of the Netherlands Indies, 1880-1942
5.    Japan. Rikugun. Gun, Dai 16. Gunsei Kanbu Ryukei Shōsha 1942, University of Michigan
6.    Dan berbagai sumber lainnya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar