Ketika Ustad Seleb Belum Bisa Jadi Cermin Umat
Dr H Thobib Al
Asyhar, Msi*)
Untuk kesekian kalinya, saya menulis artikel dengan tema ustad. Bukan karena
benci, tentu saja. Sebagai bagian dari komunitas ini, setidaknya beberapa orang
memanggil saya begitu, saya memiliki sensitifitas tinggi ketika kalangan ini
menjadi perbincangan publik secara negatif.
Sesuai catatan, paling tidak ada enam artikel (tujuh dengan ini) yang pernah
saya tulis tentang tema ustad, yaitu tantangan dan revitalisasi ulama (ustad),
komersialisasi doa di makam, menggugat matematika sedekah, penampilan ustad
kemayu, manusia setengah ustad, dan honorarium ustad. Ya, semua tulisan itu,
jujur, karena rasa peduli saya kepada profesi profetik ini.
Memang, sering kita dengar, ustad juga manusia. Tidak salah sih, tapi bisa
mengandung tafsir yang kurang tepat. Misal, kesalahan seorang ustad bisa
dimaklumi, meskipun menyangkut hal-hal prinsip. Padahal, ustad adalah cermin
moral masyarakatnya. Bagaimana akhlak ustadnya, begitulah moral umatnya.
Intinya, ustad tidak boleh salah dalam hal-hal prinsip.
Namun, semua orang pasti tidak setuju jika dibilang, ustad tidak boleh salah
dalam semua hal. Wajar, karena dia juga manusia. Tapi, menyangkut aspek-aspek
tugasnya sebagai pembina moral, ustad tetap tidak boleh salah secara moral.
Jika sikap dan perilakunya masih seperti orang pada umumnya, saya setuju
pendapat Gus Sholah dan Gus Mus, sebaiknya mundur saja.
Bagaimana dengan fenomena ustad seleb belakangan ini? Yups. Justru tulisan ini
ditulis. Tanpa bermaksud sok baik, atau sok suci. Bukan! Ini hanya sebagai
catatan, bahwa status ustad sama dengan tugas nabi. Ustad adalah cermin bagi
umatnya.
Masih ingat kan video smack-down ustad muda di You Tube? Terus terang,
saya sedih banget. Bukan saja karena isinya, tapi komen-komen sadis di
bawahnya. Anehnya, konon si ustad ini makin laris diundang ceramah. Bisa karena
pengen lihat mukanya, sekedar foto-foto, atau ada hal lain?
Belum lagi ada ustad seleb berpraktik dukun. Muncul laporan ke MUI. Konon si
ustad ini menipu. Setidaknya begitu menurut korbannya. Karena dianggap kena
sihir, dia harus banyar ini itu untuk nebus mahar, dan lain-lain.
Belum lama juga heboh, ustad tarif tinggi. Apalagi hobby-nya mejeng di
infotainment. Banyak dikritik, tapi cepat berlalu. Demikian juga ada ustad yang
style-nya lenggak-lenggok, agak kemayu. Jamaahnya bejibun ketika ia
tampil. Herannya, semakin banyak banyolan, semakin disukai pemirsa, dan
pengiklan. Pertanyaannya, dari mana mereka berguru? Hebat!
Tentu, ini memprihatinkan. Suka tidak suka, fenomena itu harus diluruskan.
Meskipun sebagian orang bilang, biarkan saja, setiap dakwah punya caranya
sendiri. Tapi apa betul begitu? Apakah semua cara bisa ditempuh agar dakwah
bisa tampil di TV atau media publik? Bukankah acara dakwah di TV atau media
publik selama ini lebih banyak jadi bumbu-bumbu komedi? Bukankah ada acara
dakwah justru dijadiin media “cari makan” oleh TV?
Oke, mari kita berpikir kritis. Berdakwah dengan berbagai model atau pendekatan
memang perlu. Tapi, bukan berarti bisa menggunakan semua cara yang bisa
meruntuhkan sendi-sendi moralitas.
Dari fenomena tersebut, sebenarnya Ditjen Bimas Islam, Direktorat Penerangan Agama
Islam, sudah menyadari, bahwa hal itu harus diperbaiki. Bahkan pejabat selevel
Dirjen pun telah meminta bawahannya agar para ustad seleb itu dibina. Program
pun sudah pernah dilakukan. Bagaimana hasilnya? Ya, itu kan salah satu cara
saja. Semua terpulang dari masing-masing ustad, mau atau tidak. Bagaimana
media, khususnya TV, punya sense atau tidak. Juga, tergantung
masyarakat, masih ngundang mereka dan nonton acaranya atau tidak.
Gayung pun bersambut. Belakangan, MUI mulai peduli. Sebagai ormas kumpulan para
ulama, zu’ama, dan cendekiawan, MUI akan membina ustad seleb yang dianggap nyeleneh,
untuk tidak dibilang bermasalah. Menurut Ketua Harian MUI bidang Luar Negeri,
KH Muhyidin Djunaidi, MUI akan memanggil beberapa dari ustadz seleb yang
menjadi sorotan publik. Konteksnya, MUI ingin dakwah itu mendidik dan menjadi
perbaikan akhlak bangsa. Selain itu, juga akan dilakukan sertifikasi khusus
bagi dai dan ustadz di Indonesia agar memenuhi kualifikasi dan persyaratan
minimal.
Bukan hanya itu, ormas-ormas Islam, seperti NU, Muhammadiyah, Al-Washliyah,
Persis, dan lain-lain, perlu ikut membina. Bahkan perguruan tinggi Islam juga
perlu. Suatu kali, Prof. Azyumardi Azra pernah menyampaikan, bahwa UIN dan PT
Islam siap mengisi acara-acara dakwah di TV. Menurutnya, acara dakwah di TV
cukup memprihatinkan, dan sudah dimasuki kepentingan industri (ekonomi) yang
kurang mendidik. Azra meyakinkan, PT Islam memiliki SDM mumpuni. Tawaran
menarik, tapi apa mau TV?
Media TV sebenarnya industri kreatif. Jadi memang tidak hanya cukup materinya,
tapi kemasannya juga harus oke. Makanya tidak heran jika banyak ustad seleb
yang berwajah camera-face, nampak funky, gaul, dan tentu menarik
pembawaannya. Hanya saja, pemilik TV kurang paham, dakwah yang baik itu seperti
apa, sehingga, dakwah asal banyak penonton itu dianggap bagus.
So, dua kepentingan, dakwah dan media, sebenarnya bisa bertemu. Dakwah memiliki
kepentingan agar masyarakat menjadi baik, dengan cara baik. Syaratnya, para
pendakwah harus lebih kreatif. Lebih ngena ke hati masyarakat. Tentu
tidak sekedar lucu, tapi juga bermutu. Bagi yang sudah terlanjur jadi dai
seleb, tidak salah kok belajar lagi. Jangan sungkan jawab tidak tahu, jika ada
pertanyaan sulit. Enak kok jujur itu. Kalau semua pertanyaan dijawab serampangan,
ya runyam lah dakwah itu.
Sementara media bisa membantu dakwah tanpa merusak maksud dakwah. Media punya
kepentingan menyebarkan informasi publik, dan bisa dipercaya untuk mendidik
umat. Kalau mereka butuh iklan, ya jangan dari dakwah deh. Wallahu
a’lam. -
*) Penulis adalah Dosen Psikologi Islam PPs Universitas Indonesia, Kasubag Data dan Sistem Informasi
Ditjen Bimas Islam
Sumber:
http://bimasislam.kemenag.go.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar